Pilkada serentak 2024 di Indonesia dipenuhi oleh berbagai kontroversi terkait perubahan aturan pencalonan, khususnya mengenai ambang batas pencalonan dan batas usia minimal bagi calon kepala daerah. Perubahan ini menimbulkan polemik di kalangan publik dan politisi, serta menimbulkan kekhawatiran mengenai kepentingan politik di balik aturan-aturan baru tersebut.
1. Kontroversi Ambang Batas Pencalonan
Salah satu poin utama yang menjadi sorotan adalah perubahan ambang batas pencalonan (threshold). Sebelumnya, partai politik atau gabungan partai harus memiliki 20% kursi DPRD atau 25% suara sah untuk dapat mencalonkan pasangan calon kepala daerah. Namun, pada 2024, aturan ini diubah oleh Mahkamah Konstitusi (MK), yang menetapkan ambang batas pencalonan berkisar antara 6,5% hingga 10%, tergantung dari jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) di masing-masing wilayah Viva.
Perubahan ini memicu kontroversi, terutama karena dianggap menguntungkan partai-partai kecil dan menciptakan ketidakadilan bagi partai-partai besar. Selain itu, ada kecurigaan bahwa aturan ini diubah untuk memfasilitasi pencalonan pihak-pihak tertentu yang memiliki kepentingan politik besar dalam Pilkada Viva.
2. Batas Usia Pencalonan yang Dipermasalahkan
Selain ambang batas pencalonan, aturan mengenai usia minimal calon kepala daerah juga menjadi sumber perdebatan. Sebelumnya, batas usia minimal bagi calon gubernur dan wakil gubernur adalah 30 tahun, sementara untuk calon bupati dan wali kota adalah 25 tahun. Namun, Mahkamah Agung (MA) kemudian memperbolehkan calon kepala daerah memenuhi syarat usia tersebut pada saat dilantik, bukan saat pendaftaran katadata.
Keputusan ini menimbulkan tuduhan adanya "karpet merah" untuk putra Presiden Joko Widodo, Kaesang Pangarep, yang diperkirakan akan mencalonkan diri sebagai Wakil Gubernur DKI Jakarta. Kaesang yang baru akan berusia 30 tahun setelah pendaftaran dianggap sebagai salah satu alasan di balik perubahan aturan ini katadata.
3. Reaksi Publik dan Pemerintah
Kontroversi ini memicu respons keras dari berbagai pihak, termasuk dari masyarakat yang merasa bahwa perubahan ini dibuat terlalu cepat dan tidak memberikan waktu yang cukup untuk diskusi yang lebih luas. Para pengamat politik juga mengkhawatirkan bahwa aturan-aturan baru ini justru merusak integritas Pilkada dan memperburuk kualitas demokrasi di Indonesia katadata.
Sementara itu, Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi membela keputusan mereka dengan menyatakan bahwa perubahan aturan tersebut didasarkan pada pertimbangan hukum yang sah dan diperlukan untuk memperbaiki sistem Pilkada Viva] katadata.
Kesimpulan
Kontroversi Pilkada 2024 menunjukkan bahwa aturan-aturan baru yang seharusnya bertujuan untuk meningkatkan kualitas pemilihan kepala daerah justru menimbulkan pertanyaan mengenai motif politik di baliknya. Batas usia dan ambang batas pencalonan menjadi dua isu utama yang mendapat perhatian luas dan diprediksi akan terus menjadi topik panas menjelang pelaksanaan Pilkada serentak pada November 2024.
Penting bagi masyarakat untuk terus mengawasi perkembangan ini agar Pilkada dapat berlangsung dengan adil dan demokratis.
Tidak ada komentar